Tulisan yang baik

Syahrain F.
3 min readAug 15, 2020

--

Tulisan yang baik akan melekat hingga memberikan kesan kebaikan tertentu di hati pembaca. Tulisan yang baik juga bisa memberi pengaruh keteraturan ke dalam pikiran. Karena ia tidak keluar dari rel kaidah-kaidah bahasa yang digunakan.

Kata, kalimat, hingga tanda bacanya diletakkan secara tepat. Selesai saya membaca tulisan yang disiplin dalam kaidahnya, ada pengaruh di dalam diri untuk mengikuti pola-pola keteraturan itu. Ini benar. Berpengaruh di saya.

Intermezzo: Mana bahasa di dunia ini yang paling saklek, rigid, dan perfeksionis dalam penerapan kaidahnya? Buku mana di dunia ini yang sempurna penggunaan bahasanya?

Selain itu, pada tulisan yang baik akan muncul niat baik penulis. Ketulusannya bisa dilihat dari caranya bertutur. Karena pada asalnya seseorang menulis untuk menyampaikan isi pesan.

Karena itu ia menulis dengan tujuan untuk membuat pembaca mengerti. Paham dengan isi pesannya.

Oleh sebab itu pula, sebelum menulis sang penulis sudah membuat prasangka baik bahwa pembacanya adalah orang-orang yang tidak bodoh (berbeda antara bodoh dengan tidak mengetahui), bisa berpikir, dan memiliki akal yang mampu mencerna pesan yang akan disampaikan dengan baik.

Lagi-lagi, tulisan yang baik akan meninggalkan kesan karena dimengerti oleh pembaca.

Terakhir, bagi saya tulisan yang baik akan meninggalkan kesan keindahan dan mengantarkan kita pada keindahan lainnya.

Selepas membaca postingan baik dari Abun-Nada ini, timbul keinginan untuk membuka salah satu bab di kitab al-Imam Ibnul Qayyim yang dibuka dengan hadits:

إن الله جميل يحب الجمال

“Sesungguhnya Allah itu indah, dan mencintai keindahan." (Hadits Riwayat al-Imam Muslim)

Saya pun beranjak dari satu bab ke bab lainnya. Setelah sebelumnya muncul pertanyaan di benak saya, “bagaimana ujian pandemi ini bisa saya maknai sebagai keindahan?”

Keindahan dalam bersabar, bertawakal, berdoa, dan segala bentuk ibadah kepada Allah al-Jamil Yang Maha Indah.

Maka dahaga pertanyaan saya itu pun cukup terjawab oleh setetes ilmu yang dituangkan oleh sang imam ke dalam pembahasannya soal penghambaan para hamba terhadap Qadha (ketetapan) Allah.

Al-Imam menjelaskan, bahwa salah satu bentuk takdir yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya adalah musibah.

Sikap para hamba dalam memaknai musibah itu pun bertingkat-tingkat. Ada yang bersabar dalam menghadapinya.

Kemudian setingkat di atasnya ada para hamba yang ridha.

Lalu yang tertinggi adalah yang bersyukur atas musibah yang telah Allah tetapkan menimpa dirinya. Tingkatan ini hanya bisa dicapai oleh para hamba yang di dalam hatinya tertanam rasa cinta mendalam terhadap Rabb-nya.

Ia meyakini bahwa di balik musibah itu ada kebaikan untuk dirinya yang tak ia ketahui. Ia sadar, ilmunya tak mampu melampaui ilmu Allah.

Dengan mengingat-ingat hal itu, muncul percik-percik keindahan dalam bersabar di tengah musibah ini. Meski mungkin saya belum mampu mencapai tingkat syukur.

Akan tetapi, mengetahui bahwa semua yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari kehendak Dia Yang Maha Adil, maka diri ini pun jadi berharap akan suatu ganjaran keindahan yang akan Dia siapkan di akhir garis finish nanti.

Lihat, bagaimana suatu tulisan yang baik bisa mengantarkan pembaca untuk merenungi keindahan dan keadilan Rabb-nya? Mari kita terus berbenah hati.

--

--

Syahrain F.
Syahrain F.

Written by Syahrain F.

Eks jurnalis | Menulis tentang linguistik dan tārīkh

No responses yet